Bukan rahasial lagi bila gudang pengetahuan kini bukan lagi milik sekolah atau guru. Ilmu pengetahuan bisa di dapatkan dimana saja. Lebih-lebih adanya internet, toko buku dan sumber informasi yang berseliweran dimana-mana.
internet, misalnya. Hanya dengan mnulikan kata kunci, semua informasi yang ingkin kita pelajari tersedia dengan pilihan beraneka. Ibarat toko serbaada, pelanggan tinggal memilih barang yang sesuai.
Memang, sekolah masih merupakan sumber pengetahuan formal yang kita kenal. Namun, pernahkah terpikir oleh kita bagaimanan ilmu yang diajarkan oleh guru, materi yang disampaikan guru, selalu sama dari tahun ke tahun ? Akankah kualitas siswa membaik ?
Fenomena senioritas kadang juga masih terjadi di kalangan guru. Guru yang merasa sudah malang-melintang dalam dunia pembelajaran merasa tidak perlu lagi "belajar". Arogansi semacam itu tidak hanya berdampak buruk bagi si guru, tapi juga siswa.
Ketika masih duduk di bangku play group (PG), TK dan SD tidak jarang seorang anak mengucapkan celoteh, seperti "Kata Bu/Pak Guru ... " atau "Bu/Pak Guru bilang ... ". Perkataan bergitu biasanya muncul tatkala instruksi atau tindakan oleh orang tua dan keluarga tidak sesuai dengan yang diucapkan guru.
Itu menunjukkan, figur guru sangat berpengaruh terhadap karakter siswa. Siswa mempelajari segala hal yang baru dia ketahui dan langsung mengaplikasikannya dalam kehidupan.
Fenomena yang terjadi di TK dan SD itu mungkin beda dengan di SMP dan SMA. Guru mungkin bisa menganggap siswa PG, TK dan SD adalah obyek yang belum tahu apa-apa. Dengan demikian, guru berperan sebagai subyek, pemberi, dan pengubah ketidaktahuan menjadi tahu. Akibatnya metode pengajaran cenderung teacher centered, guru sebagai pusat dan utama.
Siswa SMP dan SMA bukan lagi objyek yang tidak tahu apa-apa. Mereka subyek yang telah memiliki segudang pengetahuan. Sering guru tudak menyadari itu. Anggapan yang menyatakan bahwa siswa adalah pelajar, orang yang harus belajar, melekat begitu kuat. Sebaliknya, guru seolah tidak perlu belajar lagi.
Seharusnya guru mengenali siswa sebagaimana subyek yang memiliki talenta tertentu yang busa berkolaborasi dengan guru. Guru harus menjadi fasilitator yang menjembatani ketertarikan siswa dalam belajar.
Jika kondisi begitu bisa terjadi, bukan tidak mungkin siswa yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu akan mengajarkan apa yang dia ketahui. Sikap saling menerima, hubungan yang terbuka, dan kolaborasi yang baik akan menghasilkan simbiosis mutualisme.
Misalnya, guru musik boleh mengajarkan teori dan cara bermain musik. Namun siswa jugta boleh mengasah kreativitas sesuai permainan musiknya. Guru belajar tentang kemampuan siswa dan siswa belajar menerima arahan dari guru. Demikian juga, guru komputer bisa saja belajar tentang program-program baru dari siswa.
Tentu, kondisi begitu hanya mungkin terjadi jika guru menerapkan pola pembelajaran yang berpusat pada siswa. Interaksi antara guru dan murid tidak dijalin dengan komunikasi yang kaku antara "orang yang serbatahu".
Guru dituntut mengalamai dan membuat perubahan. Sebab, guru sesungguhnya adalah generation changer. Usia boleh tua pengalaman yang dimiliki mungkin segudang pula. namun, segudang pengalaman itu seharusnya diimbangi dengan segudang pengetahuan yang harus selalu di-upgrade, diperbarui dan dikombinasikan dengan siapa saja, ibarat komputer, casing boleh lama, tapi software dan hardware-nya harus selalu di-upgrade.
Cara yang perlu dilakukan sebenarnya mudah. Pertama guru harus siap untuk terus belajar. kedua, mau belajar dari apa saja, bisa buku, sekolah, internet, termasuk dari siswa. Ketiga, berani membuat forum sharing yang berisi evaluasi diri. keempat, bekali diri dengan keahlian yang tiap tahun tertambah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar